Blog Dofollow here :
Home » , , , , » Kontroversi dan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo Subianto

Kontroversi dan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo Subianto

Pada tahun 1983, Prabowo disinyalir pernah mencoba melakukan upaya penculikan sejumlah petinggi militer, termasuk Jendral LB Moerdani yang diduga hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Soeharto, namun upaya ini digagalkan oleh Mayor Luhut Panjaitan, Komandan Den 81/Antiteror. Prabowo sendiri adalah wakil Luhut saat itu.

Prabowo juga diduga terlibat dalam peristiwa pembantaian Kraras yang terjadi pada tahun 1983 di Timor Timur. Namun Prabowo membantah tuduhan ini.
Pada tahun 1997, Prabowo juga dituduh sebagai salah satu dalang penculikan terhadap sejumlah aktivis pro-Reformasi menjelang Pemilihan Umum tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1998. Prabowo sendiri mengakui memerintahkan Tim Mawar untuk melakukan penangkapan kepada sembilan orang aktivis sesuai perintah atasan dan menganggapnya sebagai tindakan yang benar dalam pandangan rezim saat itu. Namun demikian, Prabowo belum diadili atas kasus tersebut walau sebagian anggota Tim Mawar sudah dijebloskan ke penjara.

Pada Mei 1998, menurut kesaksian Presiden Habibie dan purnawirawan Sintong Panjaitan, Prabowo melakukan insubordinasi dan berupaya menggerakkan tentara ke Jakarta dan sekitar kediaman Habibie untuk kudeta. Karena insubordinasi tersebut ia diberhentikan dari posisinya sebagai Panglima Kostrad oleh Wiranto atas instruksi Habibie.

Masalah utama dari kesaksian Habibie ialah bahwa sebenarnya, pasukan-pasukan yang mengawal rumahnya adalah atas perintah Wiranto, bukan Prabowo. Pada briefing komando tanggal 14 Mei 1998, panglima ABRI mengarahkan Kopassus mengawal rumah-rumah presiden dan wakil presiden. Perintah-perintah ini diperkuat secara tertulis pada tanggal 17 Mei 1998 kepada komandan-komandan senior, termasuk Sjafrie Sjamsoeddin, Pangdam Jaya pada waktu itu.

Prabowo yakin ia bisa saja melancarkan kudeta pada hari-hari kerusuhan di bulan Mei itu. Tetapi yang penting baginya ia tidak melakukannya. “Keputusan mempercepat pensiun saya adalah sah,” katanya. “Saya tahu, banyak di antara prajurit saya akan melakukan apa yang saya perintahkan. Tetapi saya tidak mau mereka mati berjuang demi jabatan saya. Saya ingin menunjukkan bahwa saya menempatkan kebaikan bagi negeri saya dan rakyat di atas posisi saya sendiri. Saya adalah seorang prajurit yang setia. Setia kepada negara, setia kepada republik.

Penculikan aktivis 1997/1998
Penculikan aktivis 1997/1998 adalah peristiwa penghilangan orang secara paksa atau penculikan terhadap para aktivis pro-demokrasi yang terjadi menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998.

Peristiwa penculikan ini dipastikan berlangsung dalam tiga tahap: Menjelang pemilu Mei 1997, dalam waktu dua bulan menjelang sidang MPR bulan Maret, dan dalam periode tepat menjelang pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei. Pada bulan Mei 1998, sembilan di antara mereka yang diculik selama periode kedua dilepas dari kurungan dan muncul kembali. Beberapa di antara mereka berbicara secara terbuka mengenai pengalaman mereka. Tapi tak satu pun dari mereka yang diculik pada periode pertama dan ketiga muncul.

Selama periode 1997/1998, KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu, 1 orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya, dan 13 lainnya masih hilang hingga hari ini.

Sembilan aktivis yang dilepaskan adalah Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faisol Reza, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto dan Andi Arief.

Ke-13 aktivis yang masih hilang dan belum kembali adalah Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser. Mereka berasal dari berbagai organisasi, seperti Partai Rakyat Demokratik, PDI Pro Mega, Mega Bintang, dan mahasiswa.

Kasus penculikan ini menyeret 11 anggota tim mawar ke pengadilan Mahmilti II pada bulan April 1999. Saat itu Mahmilti II Jakarta yang diketuai Kolonel CHK Susanto memutus perkara nomor PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999 yang memvonis Mayor Inf Bambang Kristiono (Komandan Tim Mawar) 22 bulan penjara dan memecatnya sebagai anggota TNI. Pengadilan juga memvonis Kapten Inf Fausani Syahrial (FS) Multhazar (Wakil Komandan Tim Mawar), Kapten Inf Nugroho Sulistiyo Budi, Kapten Inf Yulius Selvanus dan Kapten Inf Untung Budi Harto, masing-masing 20 bulan penjara dan memecat mereka sebagai anggota TNI.

Sedangkan, 6 prajurit lainnya dihukum penjara tetapi tidak dikenai sanksi pemecatan sebagai anggota TNI. Mereka itu adalah Kapten Inf Dadang Hendra Yuda, Kapten Inf Djaka Budi Utama, Kapten Inf Fauka Noor Farid masing-masing dipenjara 1 tahun 4 bulan. Sementara Serka Sunaryo, Serka Sigit Sugianto dan Sertu Sukadi hanya dikenai hukuman penjara 1 tahun. Menurut pengakuan, Komandan Tim Mawar, Mayor Bambang Kristiono di sidang Mahkamah Militer, seluruh kegiatan penculikan aktivis itu dilaporkan kepada komandan grupnya, yakni Kolonel Chairawan, tetapi sang komandan tidak pernah diajukan ke pengadilan sehingga tidak bisa dikonfirmasi.

Sementara itu tanggung jawab komando diberlakukan kepada para Perwira pemegang komando pada saat itu. Dewan Kehormatan Perwira telah memberikan rekomendasi kepada Pimpinan ABRI. Atas dasar rekomendasi itu Pangab menjatuhkan hukuman terhadap mantan Danjen Kopassus Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto berupa pengakhiran masa dinas TNI (Pensiun). Pejabat Danjen Kopassus Mayjen TNI Muchdi PR. Serta Dan Group-4 Kolonel Inf. Chairawan berupa pembebasan tugas dari jabatannya.

Republika: http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/11/07/mvw6ru-prabowo-diminta-tak-lupakan-kasus-ham-1998
JAKARTA -- Keluarga korban pelanggaran HAM kerusuhan 1997-1998 meminta mantan komandan Jenderal Kopassus, Prabowo Subianto tidak melupakan tanggung jawabnya atas peristiwa kerusuhan besar serta penculikan aktivis mahasiswa yang hingga kini belum diusut tuntas.

"Kami lihat Prabowo melalui pernyataannya di salah satu media, ingin melepas tanggung jawab, atau mungkin karena dia berusaha menjadi calon presiden, makanya dia ingin mengaburkan semua itu," kata Paiaan Siahaan, ayah dari salah satu aktivis mahasiswa 1998 di kantor Kontras Jakarta, Kamis (7/11).

Paiaan merupakan ayah dari Ucok Munandar Siahaan, mahasiswa STIE Perbanas yang bersama 12 aktivis lainnya sejak insiden penculikkan aktivis mahasiswa pada 1998 belum kembali hingga kini.

Pria asal Depok ini, mengecam pernyataan Prabowo saat sesi wawancara dengan salah satu media, di mana politikus Gerindra itu mengklaim tidak terlibat sepenuhnya. Menurut Paiaan, Prabowo hanya mengaku bertanggung jawab terhadap sembilan aktivis yang kini sudah kembali. Dalam media itu Prabowo mengaku hanya menjalankan tugas yang diarahkan atasannya.

"Prabowo tidak mungkin hanya bertanggung jawab atas sembilan aktivis yang hilang saat itu, karena sembilan aktivis saat itu, yang kini sudah dikembalikan Prabowo, dan 13 aktivis lainnya yang masih hilang, merupakan satu kelompok atau kesatuan," ujarnya.

Seluruh aktivis tersebut diduga diculik tim Mawar yang dipimpin Prabowo saat itu. Selain itu, ujar Paiaan, dalam penyelidikan tim Pro Justicia Komnas HAM, disebutkan juga mengenai indikasi kuat keterlibatan Prabowo dalam peristiwa penculikan aktivis pada 1997-1998.

"Kami merasa miris, keterlibatan Prabowo dibuktikan dari Pengadilan terhadap Tim Mawar dan Dewan Kehormatan Militer sudah membuktikan Prabowo bersalah dan dia akhirnya dipecat," ujarnya.

Paiaan melihat Prabowo seolah ingin melepas dari tanggung jawab. Sejak penyelidikan pelanggaran HAM, ujar Paiaan, Prabowo selalu tidak bersedia untuk dimintai keterangan oleh Komnas HAM.

"Dengan penyataan Prabowo ini semakin menjelaskan sikapnya. Waktu penyelidikan Pro Justia Komnas HAM, Prabowo tidak pernah menghadirinya," ujarnya.

Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekereasan (Kontras), Haris Azhar mengatakan sebagai Danjen Kopassus saat itu, Prabowo merupakan petinggi militer yang memiliki tanggung jawab kontrol komando kepada anak buahnya.
Kontras menyatakan hal tersebut sudah ditegaskan dalam pasal 42 ayat 1 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM bahwa Komandan Militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pindana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM.
"Maka dari itu pernyataan Prabowo di media seharusnya ditindaklanjuti oleh penegak hukum," ucap Haris.
Share this article :

3 comments:

Fransiskus Asisi syofian said...

memang saatnya dibuka sekarang... daripada tidak sama sekali... Menghilangkan nyawa orang pelanggaran HAM berat bung... Buka aja sejujurnya kepada masyarakat agar kita thu kebenarannya.
Kalau Prabowo lantang menyampaikan kebenaran, mungkin saya juga memikirikan untuk memilihnya, tapi kalau bungkam berarti ada keterlibatan, dan saya tidak sudi memilih pembunuh jadi pemimpin indonesia

ipungB08sms said...

Tapi KPU kok mengesahkan sbagai CAPRES..ini kenyataan politik

Anonymous said...

Prabowo anjing

Post a Comment

 

Copyright © 2012. SD NEGERI DUKUH TENGAH 01 - All Rights Reserved
Pendiri blog Adhi Primana Kontak Facebook FB Adhi Primana
Penyedia Hosting Blogger